Tentang Konflik dalam Organisasi
Dalam konflik organisasi saya pernah meraskan sendiri dalam konflik tersebut terdapat permasalahan yang tidak terduka, pada waktu itu saya memiliki masalah yang tidak disadari faktor utamanya adalah kurang kompaknya hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik, sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, et al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan; dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar